Feminisme Multikultural


Feminisme Multikultural

Feminisme Multikultural

Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Jadi, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.[1] Humm mengatakan bahwa:
“Feminisms is the definition incorporates both a doctrine of equal rights for women (the organised movement to attain women's rights) and an ideology of social transformation aiming to create a world for women beyond simple social equality. Gerda Lerner argues that feminism must distinguish for itself between woman's rights and woman's emancipation.”

“Feminisme adalah suatu doktrin persamaan hak untuk perempuan-perempuan (pergerakan yang diorganisir untuk mencapai [hak/keadilan] perempuan-perempuan) dan merupakan suatu ideologi perubahan bentuk sosial yang bertujuan untuk menciptakan suatu dunia baru para kaum perempuan di luar persamaan sosial sederhana. Sementara Gerda Lerner membantah bahwa feminisme itu harus menciri untuk dirinya sendiri antara [hak/ keadilan] perempuan dan pembebasan perempuan.”[2]


Henrietta L. Moore mengatakan bahwa antropologi feminis mengembangkan posisi-posisi teoretis yang berkaitan antara perbedaan-perbedaan jender, budaya, kelas, dan sejarah.[3] Dengan demikian kedudukan perempuan dipengaruhi oleh lingkungan di mana perempuan itu hidup. Artinya, di mana pun perempuan itu tinggal maka tidak terlepas dari kebudayaan dan pandangan masyarakat yang menganggap kedudukan perempuan masih berada di bawah kaum laki-laki. Intinya bahwa feminisme merupakan wanita sebagai kategori sosial yang tidaklah universal, tetapi adalah universal wanita mengalami banyak ketidakadilan berdasarkan jenis kelamin.[4]
Teori feminisme dan poskolonial menurut Bill Aschroft telah mengikuti ‘jalur evolusi yang kovergen’. Keduanya telah memberikan pemikiran yang baru mengenai suatu kajian yang selama ini terpinggirkan dalam struktur dominasi sehingga keduanya berjalan dengan teori-teori yang sama. Teori poskolonial dan feminisme yang serupa mulai berusaha memukul balik hierarki gender/budaya/ras yang telah ada dan mereka segera menyambut undangan pengikut poststrukturalisme yang menolak oposisi biner terhadap konstruksi wewenang patriarki/kolonialisme sendiri.[5]
Bahkan sebagai contoh mengenai representasi budaya perempuan kulit hitam dan kulit putih, Carby dan Hooks berpendapat bahwa kolonialisme dan rasisme telah menstrukturkan relasi kekuasaan antara perempuan kulit hitam dan kulit putih, dan membatasi semua perempuan sebagai kulit putih. Gender bersinggungan dengan ras, etnisitas dan nasionalitas untuk menghasilkan pengalaman berbeda tentang bagaimana rasanya menjadi perempuan. Dalam konteks pascakolonial, perempuan memikul beban ganda yaitu dijajah oleh kekuasaan imperial dan disubordinasikan oleh laki-laki penjajah dan pribumi. Spivak (1993) berkeyakinan bahwa ‘kelas bawah tidak dapat berbicara’. Spivak menyatakan bahwa perempuan miskin tidak memiliki bahasa konseptual yang mereka gunakan untuk berbicara dan tidak ada telinga laki-laki penjajah dan pribumi yang mau mendengarkan.[6] Dengan demikian, hanya dari dan untuk perempuan itu sendiri jika mereka melakukan pembicaraan. Artinya, dengan segala bentuk penindasan terhadap perempuan, tidak akan pernah ada yang memberikan kehidupan kecuali hanya perempuan itu sendiri.

“Definitions of feminists tend to be shaped by their training, ideology or race. for example, Marxist and socialist feminists stress the interaction within feminism of class with gender and focus on social distinctions between men and women.
Black feminist argue much more for an integrated analysis which can unlock the multiple system of oppression.” [7]


Perempuan akan menjadi objek dalam penelitian roman-roman kesastraan Melayu Tionghoa yang bertemakan pernyaian yakni perempuan pada masa kolonial atau setelah kolonial itu berakhir dengan meninggalkan bekas ketertindasannya terhadap perempuan. Kedudukan perempuan akan diungkap dengan berbagai cara agar terlihat unsur-unsur yang mempengaruhi kehidupannya sebagai seorang nyai pada masa kolonial. Karena perempuan selalu dikaitkan dengan ketertindasan oleh kaum laki-laki meski perempuan memiliki hak dan kekuasaan untuk berada sejajar dengan kaum laki-laki. Beberapa upaya berikut menurut Leela Gandhi agaknya bisa dipertimbangkan sebagai alternatif untuk menempatkan perempuan sebagai manusia yang sederajat dengan laki-laki yaitu:
Pertama, pembongkaran terhadap penafsiran agama yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki.[8] Kebenaran dalam penempatan kaum laki-laki pada agama lebih tinggi kedudukannya dibandingkan perempuan mendapatkan dukungan dari kitab-kitab suci atau ajaran agama yang dijadikan kambing hitam oleh masyarakat yang berpikiran seperti itu. Seolah-olah perbedaan kedudukan terhadap gender menjadikan salah tafsiran terhadap Tuhan sehingga beranggapan Tuhan memiliki jenis kelamin laki-laki. Oleh sebab itu, budaya atau pemikiran masyarakat tersebut menjadi kerugian terhadap kelompok tersebut. Persoalan agama dan budaya sebenarnya harus dibedakan sehingga tidak terjadi manipulasi budaya dengan mengatasnamakan agama untuk menindas kelompok-kelompok tertentu.
Kedua, pembongkaran wacana budaya yang selama ini menempatkan perempuan sebagai ‘teman belakang’ laki-laki yang kehidupannya hanya berkisar pada persoalan; sumur-kasur-dapur. [9] Artinya bahwa penempatan perempuan dianggap rendah dalam kehidupan keluarga. Hal ini dapat dihubungkan dalam bidang sosial yang menunjukan interaksi antara kaum laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Perbedaan tersebut adalah keterbatasan perempuan dalam berinteraksi dengan orang lain.
Ketiga, mengganti bahasa yang selama ini merepresentasikan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan tergantung pada laki-laki menjadi bahasa yang egaliter dan berkeadilan gender.[10] Hal tersebut berkaitan dengan upaya yang kedua bahwa pekerjaan atau kedudukan perempuan jauh berada di bawah kaum laki-laki. Bahasa tersebut dapat diartikan bahwa pernyataan dari masyarakat  yang selama ini sudah menjadi budaya dan kebiasaan yang melekat dalam pikiran mereka. Oleh sebab itu, perempuan menunjukan kekuatan yang selama ini terkukung oleh bahasa masyarakat dengan adanya perbedaan gender.
Keempat, menumbuhkan kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan adalah makhluk yang sederajat sehingga di antara keduanya harus ada rasa saling menghormati dan bukannya keinginan untuk saling menguasai dan mendominasi.[11] Upaya ini dapat dijadikan poin penting dalam penempatan kaum feminis sebagai cara utama dalam daerah pemikirannya. Bahkan sampai saat ini masih banyak orang yang berpikiran bahwa penindasan terhadap kaum perempuan menjadi sebuah kewajaran. Artinya bahwa tidak adanya saling menghormati atau menghargai melainkan saling menentang untuk menjadi seorang pemenang dan berkuasa.
Kelima, sudah saatnya kaum laki-laki membuka akses bagi perempuan untuk memasuki ruang-ruang publik yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki.[12] Hal inilah yang menjadi sebuah benteng bagi perempuan untuk melawan dominasi kaum laki-laki. Ketidaksadarannya laki-laki untuk memberikan kesempatan kepada perempuan untuk melakukan hal yang sama selayaknya laki-laki, karena masih banyak ruang kosong yang masih belum mampu untuk ditempati laki-laki sebagai mayoritas. Akan tetapi, tidak semua perempuan dianggap lemah karena masih adanya perempuan yang bisa memberikan hal yang sama atau lebih dari kekuasaan laki-laki untuk menuju arah yang lebih baik.
Keenam, adalah negara atau pemerintah yang selama ini menempatkan dirinya sebagai pihak yang dominan dan masyarakat sebagai subordinat harus digantikan dengan penguatan civil society.[13] Pemerintah atau negara menjadi penguasa dan yang menentukan hak dan kewajiban masyarakatnya, karena memiliki sokongan dari berbagai pihak yang telah teriyakan oleh pemikiran bahwa perempuan berada di bawah laki-laki dalam kedudukannya. Sebagai contoh, masih banyak masyarakat yang angkat bicara (pro-kontra) ketika dalam jabatan pemerintahan dipimpin oleh seorang perempuan. Hal inilah yang menjadi bukti bahwa negara atau pemerintah harus bisa menjadi mediator masyarakat dalam menuntut hak dan kewajibannya.
Dalam teori feminisme multikultural akan kita temukan berbagai budaya mengenai wanita sehingga akan kita temukan pula perbedaan-perbedaan ras dan kelas yang mengakibatkan teori-teori feminisme muncul. Zinn, et  al (1986) mengkritik deretan teori-teori feminis, untuk kekurangannya dalam sintesis mengenai isu-isu ras dan kultural, mereka menyatakan bahwa studi tentang ras dan  kelas di dalam studi-studi wanita dan teori feminis, memiliki tiga kesamaan dimensi: (1) laporan mengenai ras dan kelas dinomorduakan, setelah subordinasi jenis kelamin; (2) sedikitnya laporan tentang ras dan kelas; dan (3) terfokus pada deskripsi-deskripsi mengenai norma-norma budaya dan masalah-masalah bagi wanita di dalam posisi subordinasi ras dan kelas.[14]
Dengan demikian, konsep feminisme multikultural akan memperoleh banyak wacana mengenai budaya wanita. Oleh sebab itu, terbukti bahwa teori feminis sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan hak-haknya, erat berkaitan dengan konflik kelas sosial dan ras, khususnya konflik gender. Feminisme multikultural didasarkan pada pandangan bahwa bahkan di dalam suatu negara, semua perempuan tidak diciptakan atau dikonstruksi secara setara. Bergantung pada ras dan kelas, dan juga kecenderungan seksual, usia, agama, pencapaian pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, kondisi kesehatan, dan sebagainya.[15]
Pada akhirnya, dari penjelasan di atas, feminis multikultural merupakan peranan perempuan yang berada di dalam berbagai kebudayaan yang telah mempengaruhinya untuk mensejajarkan diri dari kaum laki-laki. Feminis multikultural melihat bahwa kedudukan perempuan pribumi yang dikelilingi banyak kebudayaan ingin mengadaptasikan diri dan masuk dalam kebudayaan tersebut.


[1] Ratna, Op Cit., hlm. 184.
                [2] Maggie Humm, The Dictionary of Feminis Theory, (London: Prentice Hall/ Harvester Wheatsheaf, 1995), hlm. 94.
[3] Henrietta L. Moore, Feminisme & Antropologi, (Jakarta: Obor, 1998), hlm. 2.
[4] Ibid
[5] Leela Gandhi, Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, (Yogyakarta: Qalam, 2006), hlm. 107.
[6] Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006), hlm. 236.
                [7] Humm, Op. Cit., hlm. 95.
[8] Gandhi, Op. Cit, hlm. xvi.
[9] Ibid
[10] Ibid, hlm. xviii.
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, Sosiologi Wanita, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), hlm. 34.
[15] Rosemarie Putman Tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Konprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis.(Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2006), hlm. 309.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahasa Betawi dalam Bahasa Indonesia

Kunci Gitar Lagu Asik Pas Nongkrong Bareng Sobat

Air Beriak Tanda Tak Dalam, Kecuali "Salesman"