TEORI POSKOLONIAL




Poskolonial
Secara garis besar dalam penelitian ini memiliki dua landasan teori, yakni mengenai poskolonial dan teori feminisme multikultural. Kedua teori tersebut akan mengungkap roman-roman kesastraan Melayu Tionghoa yang memiliki tema pernyaian sehingga kedua teori tersebut menjadi tepat untuk menggambarkan situasi dan kondisi perempuan atau seorang nyai pada masa kolonial. Secara etimologis poskolonial berasal dari kata ‘post’ dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata colonia, bahasa Romawi, yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainnya.[1]
Teori poskolonial merupakan teori kritis yang mencoba mengungkapkan akibat-akibat negatif yang ditimbulkan oleh kolonialisme.[2] Karena pada dasarnya poskolonialisme adalah akibat, yaitu era sesudah kolonialisme. Dengan demikian yang menjadi objek dari penelitian poskolonial adalah wacana poskolonial yaitu berbagai bentuk penceritaan dalam kaitannya dengan peninggalan kolonial.
Proyek poskolonial dikemukakan pertama kali oleh Frantz Fanon. Fanon menyimpulkan bahwa melalui dikotomi kolonial, penjajah-terjajah, wacana oriental telah melahirkan aliansi dan marginalisasi psikologis yang sangat dahsyat.[3] Ini artinya bahwa keadaan yang terjadi pascakolonial dapat mempengaruhi berbagai gejala kultural sehingga akan muncul hal-hal yang baru baik menuju perubahan yang lebih baik atau lebih buruk. Kekuasaan kolonial telah menempatkan penduduk jajahan sebagai the other yang masih bisa dipantau sebagaimana yang dikemukakan oleh Juneja bahwa:
“Colonial power produces the colonized as a fixed reality which is at once an “other” and yet entirely knowable and visible. It resembles a form of narrative in which productivity and circulation of subject and signs are bound in a reformed and recognizable totality.”

Tanda-tanda kolonialisme telah terbelenggu dalam keadaan yang nyata bahwa kekuasaan kolonial telah menghasilkan yang dijajah sehingga memerlukan perbaikan untuk membangun dunia yang baru. Namun, pada kenyataannya masa kolonial telah meninggalkan banyak hal direpresentasikan sebagai penindasan kaum bumiputra dengan adanya stratifikasi sosial dari penjajah kolonial. Stratifikasi sosial tersebut memosisikan kaum pribumi berada di bawah orang-orang Eropa yang terbentuk dari adanya penggolongan masyarakat kolonialisme. Oleh sebab itu, diskriminasi rasial terhadap kaum pribumi telah mengakibatkan adanya perlawanan atas kolonial untuk menemukan identitas baru kaum pribumi itu sendiri.


[1] Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 205.
[2] Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.  240.
[3] Ratna, Op. Cit, hlm. 206.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahasa Betawi dalam Bahasa Indonesia

Kunci Gitar Lagu Asik Pas Nongkrong Bareng Sobat

Air Beriak Tanda Tak Dalam, Kecuali "Salesman"