Secangkir Kopi Hangat
S |
AAT mentari memunculkan diri di ufuk, Arsha sudah duduk di bangku, di beranda rumahnya. Ditemani segelas kopi hangat dan sebuah surat kabar hari ini yang memberitakan demo penolakan kenaikan BBM. Sesekali ia menyeruput kopinya, seraya menggeleng. Sesekali pula matanya memicing dan mulutnya mencibir ketika melihat sebuah gambar yang menampilkan seorang polisi dan mahasiswa sedang baku hantam di antara demo yang berakhir rusuh. “Demonstrasi kok rusuh?” tanyanya entah pada siapa, karena saat itu ia sendiri. Kali ini ia menggelengkan kepalanya.
Ia pun meletakkan surat kabar lalu berkata seraya mengambil cangkir kopi, lalu menumpahkan isi cangkir ke dalam mulutnya. “Mahasiswa itu kaum itelektual yang harusnya berpikir lebih pandai dalam menyelesaikan masalah, bukan dengan cara yang sama sekali tidak intelek seperti ini. Ini barbar namanya. Memaksakan pendapat namanya kalau sampai berujung ricuh,” katanya geram. “Aparat juga tak kalah salahnya, sebagai pelindung rakyat mereka justru terpancing emosi. Sampai terjadi baku hantam dengan warga sipil, itu sangat memalukan,” tambahnya. Setelah itu pun banyak gerutuan-gerutuan lain yang keluar begitu saja dari mulutnya. Gerutuan yang menyatakan sumpah serapah, kekecewaan, sampai kesedihan.
Tidak lama kemudian keluar laki-laki tua yang sudah 28 tahun hidup membesarkannya dan kini menghampirinya serta mengomentari gerutuan Arsha. “Yang sabar! Kamu sendiri keluar dari keintelektualan kalau terus menggerutu dan marah-marah seperti itu,” katanya sambil tersenyum. “Marah-marah sendiri itu bukannya juga perbuatan yang tidak intelek? Bahkan mungkin bisa dikatakan tidak waras,” lanjutnya. Kali ini perkataannya disertai dengan tawa kecil. Lelaki tua itu ayah Arsha, Subari, yang mungkin nama itu diambil dan diberikan oleh orang tuanya dari kata sabar dengan tujuan anaknya menjadi seorang yang penyabar. Memang jika dilihat dari tutur bahasanya dan tingkah lakunya ia merupakan orang yang sangat sabar. Bahasa yang halus, warna muka tenang, serta gerakan-gerakan yang efektif—perlahan tapi pasti.
“Jadi, Ayah maksud aku gila?” gerutu Arsha. “Lho, apa namanya kalau marah-marah sendiri. Yang mau dimarahin siapa? Yang mau digerutuin siapa?” jawab ayahnya. “Orang yang dimarahin dan digerutuin saja enggak ada. Kamu capek-capek marah sekarang, bahkan sampai mati sekalipun memang mereka dengar?” kata ayahnya lebih lanjut. “Iya juga ya, Yah. Cuma buang-buang energi dan mood,” tutur Asha. Mereka berdua pun tertawa. Ayah Arsha menertawakan Arsha dan Arsha sendiri menertawakan dirinya.
“Lho…lho… pagi-pagi sudah tertawa terbahak-bahak begitu. Ada apa ini?” kata seorang perempuan paruh baya yang keluar dengan membawa secangkir teh. Namanya Rosiah, diambil dari kata rose yang berarti mawar. Seperti namanya, wanita tua ini memang secantik mawar, paling tidak sisa-sisa kecantikan itu masih tampak, meski di hari tuanya. “Ini lho, Bu. Arsha marah-marah karena demo penurunan BBM yang berakhir ricuh itu,” jelas Subari. “Ngapain dipikirin, apalagi sampai marah-marah. Yang demo kebilnger yang jaga juga edan. Yang demo teriak-teriak membela rakyat, tapi menyusahkan rakyat,” gerutu. “Lho, Ibu kok jadi ikut menggerutu,” sambar Subari yang tersenyum pada Arsha.
“Bagaimana enggak kesel, dongkol, sekaligus marah. Mereka ngakunya ngebela rakyat, tapi perbuatan mereka justru menyengsarakan rakyat sewaktu demo. Masa demo malah memblokade jalan umum. Coba bayangin akibatnya, macet berjam-jam. Ibu sampai lumutan di angkot. Ibu juga akhirnya harus jalan kaki berkilo-kilo sambil bawa belanjaan. Karena capek, Ibu akhirnya harus ngeluarin ongkos tambahan buat naik ojek. Coba kalau misalkan ada yang sakit atau ingin melahirkan dan harus dibawa ke rumah sakit? Belum lagi yang memadamkan lampu jalan dan merobohkan marka, seperti yang Ibu lihat di televisi kemarin. Itu kan fasilitas umum, dengan melakukan itu berarti mereka merugikan masyarakat. Ada juga yang membakar dua motor milik rumah makan cepat saji. Kesal Ibu melihatnya, karena sudah keluar jauh dari tujuan utama mereka,” gerutu wanita tua itu lebih lanjut dan tanpa berhenti.
“Mereka hanya melampiaskan emosi, namanya juga anak-anak muda,” sahut Subari menanggapi pernyataan istrinya yang bertubi-tubi. Sementara Arsha hanya mendengarkan dan menatap Ibunya yang sedang menggebu-gebu. “Enggak bisa begitu. Mereka kan ma…ha…sis…wa… yang harusnya terpelajar dalam menyikapi berbagai hal,” tambah Ibu. “Mungkin mereka sudah disusupi provokator atau politisi yang suka mengambil keuntungan. Kita kan juga maklum, kalau hal yang bergerombol pasti mudah disusupi hal-hal yang semacam itu. Dalam hal ini, sebagai orang awam kita hanya bisa membicarakannya saja sambil minum kopi dan menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Kalaupun nanti ada ambulans ingin melintas, masa iya mereka tidak memiliki perasaan dengan tetap menahannya agar tidak berjalan dan menjadi pembunuh? Yang kita pikirkan hal yang positif saja. Benar enggak, Sha?” jawab Subari menenangkan istrinya dan mencari dukungan anaknya. Arsha sendiri hanya mengangguk dan tersenyum kecil melihat ibunya yang semakin berapi-api
Namun, karena melihat istrinya masih mengerutkan wajah, Subari pun melanjutkan bicaranya, “Sudah-sudah, yang sabar. Kalau masih capek, nanti biar bapak yang pijitin, tapi teh Bapak kesiniin dulu. Dari tadi Ibu pegangin saja,” canda Subari kepada istrinya. Rosiah pun tersenyum malu-malu mendengar candaan suaminya seraya memberikan secakir teh ke suaminya. Bagai hujan yang menyirami gurun, karena canda Subari tanpa disadari hilanglah rasa dongkol di hati Rosiah. “Duh mesra bener, kayak anak muda yang lagi kasmaran aja,” ledek Arsha. Mereka pun semua kembali tertawa.
“Oh iya, bagaimana lamaran pekerjaanmu di surat kabar itu? Kamu yakin mau jadi wartawan?” tanya Subari kepada Arsha. “Tau deh, yah. Kemarin sih sudah interview. Kalau diterima nanti dikabari lagi katanya,” jawab Arsha. “Ayah cuma pesan, kalau kamu jadi wartawan, jadilah wartawan yang baik. Kalau menulis berita itu harus apa adanya, jangan kamu tambahkan dan jangan dikurangi, karena pada hakikatnya wartawan itu bertugas untuk memberitakan, bukannya mengomentari dan menyudutkan. Itu sih menurut Ayah,” kata Subari. “Iya benar. Menambahkan atau mengurangi berita bisa terjebak pada perbuatan fitnah, hasut, juga dengki nantinya,” tambah Ibu. “Kok bisa seperti itu, Bu?” Tanya Arsha.
“Jelas sangat bisa. Bahasa itu hal yang sensitif, satu kata berubah saja bisa mengubah makna. Misalnya saja, polisi baru menduga kalau si A melakukan praktik korupsi. Kalau kamu lupa atau secara sengaja menghilangkan kata ‘menduga’ saja maknanya sudah berubah, kan, menjadi si A melakukan korupsi. Nah, kalau benar si A melakukan korupsi, kalau tidak itu namanya fitnah. Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan,” kata Rosiah menjelaskan. “Waduh, Ibu tiba-tiba jadi pintar begini. Habis makan apa ini?” ledek Subari. “Ah Ayah, kan memang dari dulu Ibu pintar. Kalau Ibu enggak pintar, Ibu enggak akan milih Ayah jadi suami Ibu. Ibu akan pilih juragan jengkol yang istrinya tiga itu atau juragan sapi yang sekarang masuk penjara,” ledek Ibu kembali. Mereka pun kembali tertawa. Mentari mulai meninggi beriring senyum dan tawa keluarga Arsha.
Setelah puas bercengkrama pagi itu, mereka pun kembali kepada aktivitasnya masing-masing. Rosiah menunaikan tugasnya sebagai ibu, yaitu memasak untuk suami dan anaknya. Sementara Subari menuntaskan pekerjaannya sebagai suami dan pensiunan pegawai negeri, pergi dengan motor bututnya mencari uang walaupun hanya sebagai tukang ojek. Lalu Arsha, sebagai sarjana yang masih menganggur, pergi mencari informasi mengenai lowongan pekerjaan.
Bersambung...
****
Komentar
Posting Komentar