Bergantung pada Akar yang Rapuh

Ilustrasi: akar dan rumput (Animasi: onemaulana)
Brosis pernah dengar pribahasa “Bergantung pada akar yang rapuh”? Pasti pernah dong. Tapi, masih ingat artinya apa nggak nih? Hehehe… saya yakin masih, walapun banyak juga yang mulai lupa. Untuk yang lupa, kita coba ingat lagi yuk.

Bergantung pada akar yang rapuh maksudnya apa sih? Siapa yang mau bergantung pada akar yang rapuh? Apakah akar bisa digantungi? Sebenarnya itu pertanyaan saya saat pertama kali mendengar pribahasa itu dan jawaban saya saat itu langsung merujuk pada pohon beringin tua yang diceritakan oleh orang tua saya. Lho, kenapa ke sana? Yup, secara spontan saya membayangkan apa yang diceritakan orang tua saya, ketika ia kecil, yang suka bermain dan bergantung di akar pohon beringin layaknya Tarzan, yang bergantung ke sana ke mari sambil berteriak “Auwoooo”.

Coba Brosis pikirkan deh, kalau kita salah memilih akar untuk kita bergantung (dalam hal ini akar tersebut rapuh) apa yang akan terjadi? Akar terputus dan kita jatuh bersama akar yang kita pegang. Pasti sakit tuh. Sebenarnya sih itu jawaban mudah saya sewaktu itu, yang berarti akar yang rapuh tidak dapat dijadikan pegangan hidup sebab risiko terjatuh bersamanya besar. Bisa juga berarti, karena tidak kuat menopang beban/penderitaan kita maka akar yang rapuh tersebut akan ikut menderita bersama beban yang kita pikul. Melankolisnya, seperti cuplikan lagu Naif (Posesif) “Bilaku mati, kau juga mati. Walau tak ada cinta, sehidup semati”. Apa maksudnya ya, hehehe… Itu jawaban saya saat pertama kali mendengar peribahasa tersebut.

Ilustrasi: akar dan rumput (Animasi: onemaulana)
Kalau jawaban saya seperti itu, berarti hanya pada pohon-pohon tertentu atau khusus saja ya. Saya merasa bahwa makna pribahasa tidak sesederhana itu, seperti ada makna lain yang jauh lebih dalam terhadap kehidupan. Meskipun, pernyataan sederhana yang saya utarakan di atas sudah bisa menjawab soal yang diberikan bapak dan ibu guru di sekolah.

Yang jadi pertanyaan, bagaimana dengan akar yang menghujam tanah? Siapa yang akan bergantung? Sebab manusia tidak mungkin bergantung di dalam tanah. Saya pun mengambil kesimpulan bahwa yang bergantung adalah pohon itu sendiri. Kata “bergantung” dalam hal ini adalah kata dengan makna konotatifnya. Intinya, pohon harus menyerap unsur hara serta air yang ada di dalam tanah melalui akar-akar mereka yang kemudian disalurkan ke seluruh daun untuk melalui proses fotosintesis. Jika akar-akar tersebut rapuh atau rusak maka tak ada unsur hara juga air yang terserap (yang menjadi makanan pohon) dan dengan perlahan pohon akan berhenti bertumbuh lalu  mati. Ketika akar mati maka pohon pun akan ikut mati.  Atau, ketika sebagian akar-akarnya tidak berfungsi dengan baik (dalam hal ini fungsi akar sebagai penopang pohon itu sendiri), maka ketika ada badai yang menerpa pohon tersebut akan lebih mudah roboh.

Kira-kira seperti itu pikiran saya. Bagaimana dengan kalian, pasti punya pikiran berbeda. Yang pasti perbedaan itu wajar. Kita lanjutkan.

Lalu bagaimana penerapannya dalam hidup? Hmmm… Lagi-lagi ini pemikiran saya (asumsi sendiri yang pasti, mungkin, atau boleh disanggah siapa pun. Yang perlu diingat ini tulisan dalam blog, lho).
Yang pertama, terkait akar pohon yang digantungi anak-anak atau Tarzan (maksudnya penjelasan sederhana di atas ya, hehehe). Ketika kita menggantungkan hidup pada orang yang sebenarnya juga tidak tidak jauh lebih baik dari kita, kira-kira apa yang akan terjadi? Yup, yang digantungi atau yang bergantung akan sama-sama mengalami kesusahan. Misalnya, ketika saya menggantungkan masalah keuangan saya pada kakak saya yang sebenarnya juga tengah menghadapi kesulitan ekonomi, maka apa yang terjadi? Kami berdua pasti akan mengalami kesusahan. Pertama, keduanya akan susah. Kedua, saya tidak akan mendapatkan apa pun dan tetap dalam kesusahan saya. Ketiga, saya tetap susah walau sudah mendapat bantuan dari kakak saya, yang kini menjadi sama susahnya dengan saya.

Nah, untuk penjelasan yang kedua, mungkin lebih tepatnya kita tidak bisa menggantungkan hidup pada diri kita sendiri di saat kita sedang rapuh. Misalnya, di saat anggota tubuh kita sakit (misalnya; mata) maka kita membutuhkan orang lain untuk membantu kita mnyembuhkannya. Atau, ketika kita merasa skit hati, kita butuh “tempat” mengeluh untuk mengobati rasa sakit hati itu. (Owalahhhh… jadi ke sana ya. Maaf ya, lagi melankolis nih.)

 Itu kalau dari individu, bagaimana dengan keluarga, organisasi, partai, perusahaan, atau negara. Akankah “akar” yang rapuh mampu berakibat pada keseluruhan? Jawaban saya, iya. Mungkin Anda punya jawaban dan alasan sendiri?
Ilustrasi: rumput (Animasi: onemaulana)
Kalau ditanya bagaimana solusinya? Saya cuma bisa jawab, benahi dan perbaiki “akar”. Jika sakit, maka sembuhkan. Hati-hati, pemotongan bisa berakibat berbeda saat tiba-tiba ada badai yang menerjang. Klise ya, tapi setiap manusia punya jawabannya masing-masing atas masalah mereka sendiri. Aduh, makin nggak jelas. Sudah deh, hehehe…

Ingat ya Brosis, ini hanya blog. Ambil yang baik dan buang yang buruk. Hehehe… see you next.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahasa Betawi dalam Bahasa Indonesia

Kunci Gitar Lagu Asik Pas Nongkrong Bareng Sobat

Air Beriak Tanda Tak Dalam, Kecuali "Salesman"